Saat menulis
artikel ini , saya teringat masa kecil dulu. Masa yang penuh “kebahagiaan”,
kenapa saya sebut kebahagian?
Karena pada saat itu, saya dengan leluasa bermain dengan sepeda saya, memancing
di sungai, memanjat pohon, berenang di sungai, bermain egrang, ketapel, membuat
pistol-pistolan, dan masih banyak lagi. Saya merasa sangat senang, bahagia dan bebas.
Yang paling saya ingat adalah pada saat saya bermain sepeda dan sepeda itu
tidak ada remnya, tapi saya dengan berani mengayuh sekencang mungkin. Pada saat
itu jalan belum begitu ramai dan belum diaspal, jadi tidak takut ditabrak dan
tidak jatuh. Terus bagaimana berhentinya? Saya mempunyai trik jitu untuk
memberhentikan sepeda saya, yaitu dengan menabrakkannya di pohon yang dibuat
untuk pagar rumah pada waktu itu pohon teh-tehan.
Dengan begitu, sepeda saya
dapat berhenti dengan aman. Pada masa itu kelulusan siswa di sekolah juga tidak
ditentukan oleh ujian yang hanya beberapa mata pelajaran, tetapi kelulusan
lebih ditentukan pada perilaku selama di sekolah.
Masa itu
sering saya bandingkan dengan masa sekarang, masa di mana dunia anak dipenuhi televisi, play station, dan
ujian nasional. Kondisi lingkungan sekarang juga kurang mendukung untuk anak
bermain bebas. Jalan sudah ramai kendaraan bermotor, sebidang tanah untuk
bermain kelereng sudah berubah menjadi sebidang beton dan lapangan sepakbola
sudah menjadi pertokoan yang super mewah. Yang ada hanya tinggal televisi yang
kurang mendidik dan permainan play
station atau game online.
Di sisi lain, tuntutan dari orangtua atau pendidikan kita
yang sangat mengedepankan kemampuan kognitif semata, menjadikan anak-anak kita terkekang dalam ketatnya sistem
pendidikan. Paradigma sebagian besar orangtua dan guru di Indonesia, bahwa
orang yang pandai matematika dan IPA akan sukses dikemudian sudah sangat-sangat
tertanam pikiran mereka. Hal ini juga
berimbas kepada anak-anak mereka, bahwa orang yang tidak pandai dalam pelajaran
matematika dan IPA sulit suksesnya. Pokoknya yang mempunyai rangking di kelas akan
sukses nantinya.
Pernyataan di atas adalah paparan singkat
bagaimana anak-anak kita hidup dalam lingkungan sosial, bermain, dan pendidikan saat ini. Hal ini membuat
anak untuk berlomba-lomba untuk menjadi yang terpintar dalam kelasnya. Waktu pelajaran yang diberikan di
sekolah, seolah-olah tidak cukup dan harus ditambahi dengan les-les tambahan.
Padahal sekolah (SD terutama) sekarang banyak yang pulang jam 2 atau bahkan
setelah Ashar. Pengalaman saya beberapa waktu yang lalu membuat saya geleng-geleng
kepala. Saya sering melakukan olahraga
lari pada waktu sore, biasanya saya berangkat sehabis sholat Ashar, sekitar
pukul 15.30. setelah tidak seberapa jauh, saya melewati suatu SD swasta yang
baru pulang. Pemandangan
mencengangkan itu berada di hadapan saya, ada beberapa murid yang keluar
gerbang sekolah langsung berjalan menuju bimbingan belajar yang berada tidak
jauh dari sekolah itu. Saya sendiri kadang membayangkan begitu beratnya menjadi
anak sekolah jaman sekarang, pulang jam 15.30 saja sudah berat apalagi ditambah
dengan les tambahan. Kalaupun ada beberapa anak yang pulang dan kemudian ingin
bermain, tenaganya sudah terkuras di sekolah, waktupun tinggal sedikit dan
sarana prasarana bermain pun kurang. Secara tidak sadar anak-anak ini ingin
memenuhi tuntutan orangtua, guru,
dan lingkungan sekitar, dengan mengorbankan waktu bermainnya.
Sistem
pendidikan di Indonesia sudah menjadi momok bagi anak-anak yang kurang nilai
akademisnya, dengan sebutan anak bodoh, nakal, dan stigma negatif lainnya.
Makanya anak berlomba-lomba untuk memenuhi tuntutan tersebut dengan belajar
mati-matian. Pendidikan kita sangat tidak menghargai proses, kemampuan anak
hanya dilihat dari buku laporan akademik anak setiap akhir semester. Buku
laporan itu hanya menilai anak dari segi kognitif dan hasil akhir. Sebagus
apapun anak berproses tapi hasilnya jelek, tetap saja si anak di cap bodoh. Hal
ini diperparah dengan adanya ujian nasional, hanya pelajaran-pelajaran yang
dianggap penting untuk menjadi syarat kelulusan. Matematika menjadi bintangnya
pada ujian nasional itu. Anak-anak yang diberi oleh Allah SWT. kecerdasan matematis yang tinggi tentunya tidak kesulitan.
Namun bagaimana nasib anak yang mengharumkan nama sekolahnya dengan menjadi
juara 1 badminton antar sekolah tingkat nasional, dan ketika nilai
matematika saat ujian nasional rendah? Apakah anak ini tidak bisa lulus dari sekolah itu? Ujian nasional juga menillai hasil akhir,
walaupun ada seorang anak yang mati-matian belajar tetapi hasilnya buruk tentu
tidak bisa lulus.
Proses enam tahun di SD, tiga
tahun di SMP, dan tiga tahun di SMA,
kelulusannya hanya ditentukan oleh hasil akhir. Jika nilainya jelek, sebagus apapun proses, tetap tidak lulus. Analogi sederhananya
begini, walaupun anak itu
anak yang baik, tidak pernah berbuat onar, tidak pernah mencuri, hormat pada
guru, tidak bisa lulus karena
nilai ujian nasionalnya jelek. Namun sebaliknya, ada anak yang tergolong pintar tetapi anak itu
sangat bandel, dan sering
berbuat onar, bisa lulus
karena ujian nasionalnya bagus. Apakah seperti itu pendidikan kita? Kalau iya, sangat disayangkan.
Secara tidak
sadar kita mendzolimi hak anak kita
untuk bermain. Bukan berarti pendidikan tidak penting, namun dunia anak-anak
adalah bermain. Terkadang kita sebagai orang dewasa jika kita melihat anak-anak
bermain, merasa anak-anak itu menghabiskan waktu dengan sia-sia. Akan tetapi
anak-anak itu melakukan dengan kesungguhan hati dan segenap jiwa, karena memang
itu tugas perkembangan anak-anak. Dengan bermain, anak belajar tentang aturan main, menerima kekalahan,
bersosialisasi, dan banyak
lagi. Pesan-pesan moral yang sangat bagus ini secara tidak sadar di terima oleh
anak karena anak mengalami langsung. Berbeda kalau pesan-pesan moral ini
disampaikan di kelas dan anak-anak disuruh mencatat di buku, hampir dipastikan
itu hanya pengetahuan. Sebagai contoh anak-anak di seluruh Indonesia pasti bisa
menjawab pertanyaan ini “dimana kita membuang sampah?” jawabannya pasti di
tempat sampah, tetapi kenyataannya banyak anak-anak yang masih membuang sampah
sembarangan, bahkan sampai dewasa masih terbawa. Lihat saja sungai-sungai kita
yang masih banyak sekali sampah.
Ini tugas kita
sebagai orangtua, guru, dan
siapapun yang ingin mendidik anak-anak kita. Mari kita buat masa bermain
anak-anak tidak berkurang, fasilitasi apapun bakat minat anak-anak kita. Atur waktu untuk anak bermain dan belajar.
Untuk para guru mari kita mengajar anak dengan metode yang baru, yang
mengedepankan bermain dengan belajar. Cari cara bagaimana pendidikan tidak
hanya pada kognitifnya tetapi juga bisa merambah emosi dan psikomotornya.
Sehingga pengetahuan yang diterimanya bisa menggerakkan emosi dan psikomotornya,
atau dengan kata lain bisa mengubah
kepekaan emosinya dan melakukan sesuatu untuk kebaikan diri maupun lingkungannya.
Tidak hanya pengetahuan yang tertinggal sia-sia di pikirannya. - SEMOGA -
(Sebagian dikutip dari Buku “Sekolahnya Manusia”, karangan Munif Chatib)
No comments:
Post a Comment