Pages

Tuesday 24 March 2015

Belajar atau Bermain ?


Saat menulis artikel ini , saya teringat masa kecil dulu. Masa yang penuh “kebahagiaan”, kenapa saya sebut kebahagian? Karena pada saat itu, saya dengan leluasa bermain dengan sepeda saya, memancing di sungai, memanjat pohon, berenang di sungai, bermain egrang, ketapel, membuat pistol-pistolan, dan masih banyak lagi.  Saya merasa sangat senang, bahagia dan bebas. Yang paling saya ingat adalah pada saat saya bermain sepeda dan sepeda itu tidak ada remnya, tapi saya dengan berani mengayuh sekencang mungkin. Pada saat itu jalan belum begitu ramai dan belum diaspal, jadi tidak takut ditabrak dan tidak jatuh. Terus bagaimana berhentinya? Saya mempunyai trik jitu untuk memberhentikan sepeda saya, yaitu dengan menabrakkannya di pohon yang dibuat untuk pagar rumah pada waktu itu pohon teh-tehan. Dengan begitu, sepeda saya dapat berhenti dengan aman. Pada masa itu kelulusan siswa di sekolah juga tidak ditentukan oleh ujian yang hanya beberapa mata pelajaran, tetapi kelulusan lebih ditentukan pada perilaku selama di sekolah.

Masa itu sering saya bandingkan dengan masa sekarang, masa di mana dunia anak dipenuhi televisi, play station, dan ujian nasional. Kondisi lingkungan sekarang juga kurang mendukung untuk anak bermain bebas. Jalan sudah ramai kendaraan bermotor, sebidang tanah untuk bermain kelereng sudah berubah menjadi sebidang beton dan lapangan sepakbola sudah menjadi pertokoan yang super mewah. Yang ada hanya tinggal televisi yang kurang mendidik dan permainan play station atau game online.

Di sisi lain,  tuntutan dari orangtua atau pendidikan kita yang sangat mengedepankan kemampuan kognitif semata, menjadikan anak-anak kita terkekang dalam ketatnya sistem pendidikan. Paradigma sebagian besar orangtua dan guru di Indonesia, bahwa orang yang pandai matematika dan IPA akan sukses dikemudian sudah sangat-sangat tertanam  pikiran mereka. Hal ini juga berimbas kepada anak-anak mereka, bahwa orang yang tidak pandai dalam pelajaran matematika dan IPA sulit suksesnya.  Pokoknya yang mempunyai rangking di kelas akan sukses nantinya.

Pernyataan di atas adalah paparan singkat bagaimana anak-anak kita hidup dalam lingkungan sosial, bermain, dan pendidikan saat ini. Hal ini membuat anak untuk berlomba-lomba untuk menjadi yang terpintar dalam  kelasnya. Waktu pelajaran yang diberikan di sekolah, seolah-olah tidak cukup dan harus ditambahi dengan les-les tambahan. Padahal sekolah (SD terutama) sekarang banyak yang pulang jam 2 atau bahkan setelah Ashar. Pengalaman saya beberapa waktu yang lalu membuat saya geleng-geleng kepala. Saya  sering melakukan olahraga lari pada waktu sore, biasanya saya berangkat sehabis sholat Ashar, sekitar pukul 15.30. setelah tidak seberapa jauh, saya melewati suatu SD swasta yang baru pulang. Pemandangan mencengangkan itu berada di hadapan saya, ada beberapa murid yang keluar gerbang sekolah langsung berjalan menuju bimbingan belajar yang berada tidak jauh dari sekolah itu. Saya sendiri kadang membayangkan begitu beratnya menjadi anak sekolah jaman sekarang, pulang jam 15.30 saja sudah berat apalagi ditambah dengan les tambahan. Kalaupun ada beberapa anak yang pulang dan kemudian ingin bermain, tenaganya sudah terkuras di sekolah, waktupun tinggal sedikit dan sarana prasarana bermain pun kurang. Secara tidak sadar anak-anak ini ingin memenuhi tuntutan orangtua, guru, dan lingkungan sekitar, dengan mengorbankan waktu bermainnya.

Sistem pendidikan di Indonesia sudah menjadi momok bagi anak-anak yang kurang nilai akademisnya, dengan sebutan anak bodoh, nakal, dan stigma negatif lainnya. Makanya anak berlomba-lomba untuk memenuhi tuntutan tersebut dengan belajar mati-matian. Pendidikan kita sangat tidak menghargai proses, kemampuan anak hanya dilihat dari buku laporan akademik anak setiap akhir semester. Buku laporan itu hanya menilai anak dari segi kognitif dan hasil akhir. Sebagus apapun anak berproses tapi hasilnya jelek, tetap saja si anak di cap bodoh. Hal ini diperparah dengan adanya ujian nasional, hanya pelajaran-pelajaran yang dianggap penting untuk menjadi syarat kelulusan. Matematika menjadi bintangnya pada ujian nasional itu. Anak-anak yang diberi oleh Allah SWT. kecerdasan matematis yang tinggi tentunya tidak kesulitan. Namun bagaimana nasib anak yang mengharumkan nama sekolahnya dengan menjadi juara 1 badminton antar sekolah tingkat nasional, dan ketika nilai matematika saat ujian nasional rendah? Apakah anak ini tidak bisa lulus dari sekolah itu? Ujian nasional juga menillai hasil akhir, walaupun ada seorang anak yang mati-matian belajar tetapi hasilnya buruk tentu tidak bisa lulus.

 Proses enam tahun di SD, tiga tahun di SMP, dan tiga tahun di SMA, kelulusannya hanya ditentukan oleh hasil akhir. Jika nilainya jelek, sebagus apapun proses, tetap tidak lulus. Analogi sederhananya begini, walaupun anak itu anak yang baik, tidak pernah berbuat onar, tidak pernah mencuri, hormat pada guru, tidak bisa lulus karena nilai ujian nasionalnya jelek. Namun sebaliknya, ada anak yang tergolong pintar tetapi anak itu sangat bandel, dan sering berbuat onar, bisa lulus karena ujian nasionalnya bagus. Apakah seperti itu pendidikan kita? Kalau iya, sangat disayangkan.

Secara tidak sadar kita mendzolimi hak anak kita untuk bermain. Bukan berarti pendidikan tidak penting, namun dunia anak-anak adalah bermain. Terkadang kita sebagai orang dewasa jika kita melihat anak-anak bermain, merasa anak-anak itu menghabiskan waktu dengan sia-sia. Akan tetapi anak-anak itu melakukan dengan kesungguhan hati dan segenap jiwa, karena memang itu tugas perkembangan anak-anak. Dengan bermain, anak belajar tentang aturan main, menerima kekalahan, bersosialisasi, dan banyak lagi. Pesan-pesan moral yang sangat bagus ini secara tidak sadar di terima oleh anak karena anak mengalami langsung. Berbeda kalau pesan-pesan moral ini disampaikan di kelas dan anak-anak disuruh mencatat di buku, hampir dipastikan itu hanya pengetahuan. Sebagai contoh anak-anak di seluruh Indonesia pasti bisa menjawab pertanyaan ini “dimana kita membuang sampah?” jawabannya pasti di tempat sampah, tetapi kenyataannya banyak anak-anak yang masih membuang sampah sembarangan, bahkan sampai dewasa masih terbawa. Lihat saja sungai-sungai kita yang masih banyak sekali sampah.

Ini tugas kita sebagai orangtua, guru, dan siapapun yang ingin mendidik anak-anak kita. Mari kita buat masa bermain anak-anak tidak berkurang, fasilitasi apapun bakat minat anak-anak kita. Atur waktu untuk anak bermain dan belajar. Untuk para guru mari kita mengajar anak dengan metode yang baru, yang mengedepankan bermain dengan belajar. Cari cara bagaimana pendidikan tidak hanya pada kognitifnya tetapi juga bisa merambah emosi dan psikomotornya. Sehingga pengetahuan yang diterimanya bisa menggerakkan emosi dan psikomotornya, atau dengan kata lain bisa mengubah kepekaan emosinya dan melakukan sesuatu untuk kebaikan diri maupun lingkungannya. Tidak hanya pengetahuan yang tertinggal sia-sia di pikirannya.  - SEMOGA -

(Sebagian dikutip dari Buku Sekolahnya Manusia, karangan Munif Chatib)

No comments:

Post a Comment